Sabtu, 26 November 2011

Tugas 3 (Bahasa Indonesia 1)

Menulis Resensi

1. Data Publikasi
          a. Judul: Sleepovers – Pesta Menginap
          b. Penulis: Jacqueline Wilson
          c. Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
          d. Jumlah halaman: 128 halaman
          e. Cetakan: Pertama, 2 Juli 2003
          f. Tema: Anak-anak

2. Sinopsis
          Begitu banyak cerita anak-anak yang beredar di pasaran, Jacqueline Wilson sebagai penulis novel khusus bertema anak-anak menampilkan cerita yang ringan, dengan gaya tulisan yang mudah dimengerti oleh anak-anak, dan manfaat positif yang terkandung di dalam novel yang dapat di tiru oleh anak-anak setelah membacanya. Sleepovers bercerita tentang pertemanan 5 anak perempuan yang mengadakan suatu rutinitas yang disebut pesta menginap apabila salah satu dari mereka berulang tahun.
Kamu berulang tahun, tapi bingung cara merayakannya? Adakan pesta menginap saja! Pasti asyik!
          Daisy anak baru di sekolah. Semua temannya ramah dan baik hati, kecuali Chloe yang sok kaya, sok tahu, dan sok ngebos. Susah deh berteman dengan Chloe, tapi lebih gawat lagi kalau bermusuhan dengannya. Soalnya ia punya ribuan cara untuk membalas dendam.
          Ketika Chloe menantang teman-temannya untuk mengadakan pesta menginap, Daisy ingin sekali ikut serta. Tapi ia bingung… karena kalau ia mengadakan pesta menginap dirumahnya, teman-temannya akan bertemu dengan kakaknya. Dan kakaknya itu merupakan rahasia besar yang tak ingin diungkap Daisy!

3. Keunggulan
Novel ini ringan untuk dibaca dan tepat mengenai sasaran target yaitu anak-anak, gaya tulisan tidak terlalu berat, tulisan agak besar dan tidak rapat-rapat sehingga anak-anak tidak bosan membacanya. Pesan yang terkandung didalamnya mengajarkan anak-anak untuk tidak berlaku curang atau jahat terhadap sesama teman. Novel ini dilengkapi juga dengan ilustrasi yang sangat menarik sehingga anak-anak senang membacanya.

4. Kelemahan
          Aslinya novel ini berbahasa Inggris, versi terjemahan bahasa Indonesia nya menurut saya terlalu banyak kata serapan bahasa Inggris yang digunakan di dalam novel ini yang memungkinkan anak-anak tidak terlalu paham artinya.

5. Pendapat Akhir
          Secara keseluruhan, novel ini patut untuk dibaca karena novel ini mengandung pesan moral positif yang dapat ditiru oleh anak-anak, para orangtua sudah sepantasnya mengajarkan anak dengan hal-hal yang positif. Dengan membaca novel ini diharapkan anak-anak lebih lancar dan terbiasa membaca serta berperilaku baik dengan sesamanya.

Minggu, 06 November 2011

Tugas 2 (Bahasa Indonesia 1)

Hujan Yang Indah
Karya: Kurnia IR

Jika Anda orang yang menyukai hujan, datanglah ke kotaku. Di sini dapat Anda saksikan hujan yang indah bak lukisan.
Aku tidak bohong. Di sini hujan turun seperti gadis kecil yang pemalu, tetapi selalu riang. Kadang kala kubayangkan hujan mengetuk-ngetuk bumi dengan kaki-kaki gadis kecil yang menari kian kemari. Aspal, trotoar, dan pepohonan basah tapi ceria turut menari bersama.
Di sini hujan sering turun dan, uniknya, hampir selalu hanya berupa gerimis. Sesekali saja terjadi hujan lebat dengan angin ribut atau geledek membentak-bentak di angkasa.
Apabila hujan turun, aku paling suka duduk dekat jendela sambil melipat tangan di meja. Kulayangkan pandangan ke luar sambil menyimak ketukan air tempias ke kaca. Dari jendela tampak dinding-dinding dan atap bangunan kuno di seberang jalan. Dalam kondisi kering, tembok dan atapnya tampak kelabu terang, tapi setelah dibasahi hujan, warnanya menggelap dan terlihat misterius, seakan-akan di dalam gedung itu ada makhluk-makhluk gaib yang bergentayangan. Pada bagian tertentu meruap juga nuansa merah bata yang asli, meski tidak mencolok. Bangunan itu ada sebelum aku dilahirkan dan seingat aku bentuknya tidak pernah diubah oleh pemiliknya.
Selain itu, yang kuintai manakala hujan tengah mempersembahkan baktinya kepada bumi adalah angkasa kelabu yang menggigil dan memuncratkan seluruh embun yang menggenangi permukaannya kepada bentang alam yang telentang pasrah. Pernah aku membayangkan langit sebagai dada perempuan yang berdegup dengan suasana batin seorang ibu yang prihatin dan bersedih. Dada yang subur. Dada yang telanjang, tetapi sensualitasnya terselubung oleh uap samar yang menenangkan. Kemudian dada itu berpeluh. Peluh yang menyembul melalui pori-pori dan melapisi kulitnya yang halus dengan genangan embun bening menebal. Ketika angin menepuk dada itu, genangan itu luruh menjadi hujan.
Aku pernah mengungkapkan gambaran tersebut kepada seorang teman, tetapi dia mencibir seraya berujar, ”Bukankah seharusnya dada memuncratkan air susu? Mengapa keringat? Lalu di mana keindahannya? Ada-ada saja kamu ini. Air susu adalah metafora bagi cinta seorang ibu. Mestinya kamu tahu, sengawur apa pun imajinasi, sepatutnya diperkuat logika—mungkin dalam ketidakmungkinannya.”
”Haruskah begitu?”
Dia tertawa, kemudian dengan gaya merenung yang dibuat-buat dia bersabda, ”Kamu ini naif sekali. Bergaya penyair, tapi tidak paham perkara remeh seperti itu.”
”Aku tidak bermaksud bergaya penyair.”
Temanku tersenyum dan kupikir itu senyuman orang jahat. Agar tidak menambah kesan jahat pada dirinya, aku tidak pernah lagi mengungkapkan apa pun yang melintas di benakku sebagai apa yang dia istilahkan ”buah imajinasi”. Anehnya, setelah hijrah ke luar negeri, dia lebih sering bertanya soal hujan kepadaku lewat telepon, pesan singkat, dan surat elektronik. Aku hanya menjawab sekenanya. Kemudian dia memprotes.
Protes itu dia lontarkan dalam obrolan via internet. Saat itu matahari tengah memancarkan cahayanya dengan murah hati. Akhir pekan yang cerah. Terlalu cerah malah.
”Dulu kamu sering berkomentar tentang hujan. Kau bilang indahlah, romantislah, begini, begitu. Sekarang kenapa kering ungkapanmu? Apakah sudah jelek hujan di sana sekarang?”
Uh, sinis sekali.
”Hujannya tetap seperti dulu.”
”Lalu?”
”Aku tidak bisa ceritakan. Kalau kamu mau tahu, pulanglah dan saksikan sendiri. Tak bisa kamu mencerap keindahan hanya lewat komentar orang lain.”
”Wah, hebatnya!”
”Salah sendiri, bertanya soal hujan pada saat matahari bersinar terang.”
”Oh, di sana cerah sekarang?”
”Ya.”
”Di sini beku. Kami dikepung salju seminggu penuh!”
Lambat laun kami semakin jarang berkomunikasi. Mungkin dia sibuk. Aku sendiri sibuk, ditambah kehadiran perempuan yang menjadi ibu bagi putra-putriku. Selanjutnya anak-anak mempersembahkan cucu-cucu untuk kami. Kawanku yang kadang-kadang menyebalkan itu tidak pernah mudik dan tanpa kabar lagi.
Kebiasaanku menikmati hujan tidak pernah berubah, meski tidak sesering dulu. Mungkin intensitas penikmatannya pun tidak sedalam dulu, entahlah. Sesekali aku masih keluar rumah ketika gerimis mulai turun, yang menimbulkan kejengkelan anak bungsuku dan menantu yang tinggal serumah dengan kami. Istriku sendiri tidak banyak cakap. Kukira dia sudah tahu tidak ada gunanya melarang aku menikmati hujan.
”Kalau Papa sakit bagaimana? Sudah tua masih suka keluyuran dalam hujan. Ini payung dan jas hujan.”
Kecerewetannya sungguh menjengkelkan.
”Apakah dulu aku pernah melarang kamu dan kakak-kakakmu berhujan-hujan?” begitulah aku pernah mengomel. Menantuku mundur dengan bijaksana, tapi putriku pantang menyerah.
”Iya. Malah dulu Papa cerewet sekali.”
”Apa iya?”
”Iya.”
Aku mengalah. Kuterima jas hujan parasut yang panjang selutut itu.
”Ini payungnya, Pa.”
”Tidak usah.”
Sempat kudengar gerutu putriku ketika aku membuka pintu dan melangkah, menyentuh tirai gerimis, ”Dasar keras kepala.”
***
Itu dulu, sebelum datang tahun-tahun yang ganjil ini.
Pada awal tahun masih kukagumi Januari dan Februari sebagaimana biasa, tapi bulan demi bulan berlalu dan genangan air mulai terbentuk di sudut-sudut kota, bantaran sungai, bahkan hingga di tengah kota. Kendaraan-kendaraan seperti berenang akibat banjir. Kini hujan bukan lagi sekadar gerimis yang menggemaskan bagai kanak-kanak, melainkan berupa curahan air terjun disertai petir dan angin ribut.
Sepanjang hari langit gelap dan mendung selalu mengurung berupa gumpalan-gumpalan hitam yang menakutkan. Aku tidak lagi berminat keluar rumah apabila hujan mulai tercurah. Yang kulakukan hanya duduk mematung di sisi jendela sambil membayangkan masa lalu yang tidak akan kembali. Walaupun demikian, aku tidak ingin berubah pikiran hanya karena perubahan iklim. Aku ingin mengenang hujan yang indah dalam benakku.
Tiba-tiba, petir membahana. Jantungku nyaris copot. Lantas atap berderak diterpa angin.
”Pakai mantel ini, Kek,” bisik cucuku dengan lembut. Senyumnya teduh. Sebentar lagi dia akan menikah. Alangkah cepat waktu berlalu. Kurasakan kantong mataku memberat.
Ketika mantel yang tebal dan lembut menyentuh kulitku, barulah aku menyadari bahwa aku menggigil kedinginan sejak tadi.

NO.
SALAH
PERBAIKAN
ALASAN
1.
Saksikan
Lihat
Kata “Saksikan” terlalu berlebihan untuk pemilihan kalimat di cerpen ini, sebaiknya diganti dengan “Lihat”.
2.
Bak
Seperti
Pemilihan kata “Bak” kurang tepat & diganti dengan kata “Seperti”.
3.
Mengetuk-ngetuk bumi
Membasahi bumi
Kata “Mengetuk-ngetuk bumi” dianggap terlalu berlebihan dan diganti dengan “Membasahi bumi” yang lebih enak dibaca.
4.
Membentak-bentak di angkasa
Menggelegar di langit
Kalimat tersebut kurang cocok penempatannya, dengan kata “Menggelegar di langit” juga sudah cukup.
5.
Kulayangkan
Kuarahkan
Kata “Kulayangkan” berlebihan & sebaiknya diganti dengan yang lebih ringan seoerti kata “Kuarahkan”.
6.
Ketukan air
Tetesan air
Lebih enak dibaca kata “Tetesan air” karena kata “Ketukan air” terdengar tidak bagus.
7.
Memuncratkan
Memunculkan
Kata “memuncratkan” terlalu berlebihan & diganti dengan kata “Memunculkan”.
8.
Luruh
Hilang
“Luruh” tidak cocok & diganti dengan kata “Hilang” yang lebih enak didengar.
9.
Bersabda
Berkata
Kata “Bersabda” terlalu berlebihan & sebaiknya diganti dengan kata “Berkata”.
10.
Hijrah
Pindah
Kata “Hijrah” terlalu berlebihan & pemakaian kata “Pindah” saja sudah cukup.
11.
Sekenanya
Seadanya
Kata “Sekenanya” tidak cocok & tidak enak didengar sebaiknya diganti dengan kata “Seadanya”.
12.
Cakap
Bicara
Kata “Cakap” terlalu baku & diganti dengan kata “Bicara”.
13.
Sebagaimana
Seperti
“Sebagaimana” tidak cocok & diganti dengan kata “Seperti”.


Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/08/14/hujan-yang-indah/#more-1426